Share yang saya ketahui dari berbagai sumber, semoga bermanfaat bagi anda!

SEPUHAN EMAS

Ditulis oleh: -
Sepuhan emas masih menghiasi berbagai perabotan berukir yang dihasilkan di Palembang. Selama ratusan tahun, warna ini menjadi penanda seni ukir yang dikenal berkualitas tinggi tersebut. Namun, bagi mereka yang mendalami seni dan budaya Sumatera Selatan, sepuhan emas itu tak mampu menyembunyikan pudarnya budaya yang saat ini tengah terjadi. Kerajinan ukiran kayu masih meriah di Palembang. Salah satunya terlihat di Jalan Faqih Jalaludin, Kelurahan 19 Ilir, Kota Palembang, yang menjadi salah satu sentra kerajinan ukiran kayu khas Palembang.
Di sepenggal jalan padat di pusat kota Palembang itu, belasan toko kerajinan ukiran kayu berjajar menawarkan berbagai perabotan berwarna dasar coklat kehitaman yang semuanya berhias ukiran bersepuh emas. Sejumlah pekerja pun tampak sibuk membenahi atau mengecat perabotan-perabotan yang masih berkulit dasar coklat. Di tokonya, Haji Tobroni Rozali (44), pun tampak mengulaskan cat emas ke permukaan sebuah lemari kecil. Warna emas ini agar ciri khas seni ukir Palembang tetap ada. Asal warnanya emas, orang sudah yakin bahwa ini ukiran khas Palembang, kata pemilik toko kerajinan seni ukir khas Palembang Al-Tisyah itu awal Februari lalu. Selain meja kecil, tokonya dipadati berbagai perabotan berukir berbagai ukuran, mulai dari lemari rek, lemari hias, hingga pelaminan pengantin yang disebut puade. Bagi mata awam, perabotan-perabotan itu terlihat sangat Palembang. Namun, kata Tobroni, seni ukir khas Palembang sebenarnya sudah sangat jarang dibuat, untuk tidak mengatakan sudah di ambang kepunahan. Sebagian besar ukiran kayu kini hanya bentuk modifikasi dan bentuk sederhana dari ukiran khas Palembang yang rumit dan mempunyai banyak pakem dalam proses pembuatannya. "Lihat ini, pola ukiran besar-besar. Guratannya juga dangkal. Motif-motif yang digunakan pun sudah tidak bergaya Palembang lagi. Kalau Palembang murni, polanya lebih rumit dan kecil-kecil. Guratannya pun sangat dalam,"kata Tobroni yang telah menjalankan usaha kerajinan ukiran kayu secara turun-temurun sejak tiga generasi. Turunnya kualitas seni ukir Palembang ini semakin nyata bagi Haji Tobroni. "Pernah ada orang yang mau memperbaiki lemari ukir Palembang yang dibuat tahun 1980-an. Saya bandingkan dengan ukiran-ukiran baru. Meski lemari itu sudah kusam dan rusak, tapi tetap lebih sedap dipandang daripada ukir-ukiran baru yang masih mengilap," ucapnya. Bahkan, kata Tobroni, sejumlah motif asli Palembang kini nyaris tak bisa lagi dijumpai. Motif-motif yang hilang ini merupakan motif-motif rumit dan berukuran kecil. Ada juga motif ukiran bulat kecil yang biasanya diguratkan di bingkai jendela. Gaya Jepara Saat ini, ukiran-ukiran di 19 Ilir sangat kental dengan gaya Jepara. Pengaruh Jepara yang makin mendominasi ini karena banyak perajin ukiran di Palembang didatangkan dari Jepara. Hal ini karena perajin ukir Palembang semakin minim. Pekerja dari Jepara pun diakui lebih murah. "Saya punya tiga karyawan, semuanya dari Jepara. Tiga karyawan tak tetap pun juga dari Jepara semua. Sulit mencari pengukir Palembang sendiri," kata pemilik toko kerajinan ukir lainnya, Jaja Zahidurizal (46). Menurut Jaja, saat ini masih ada sekitar 100 perajin ukiran kayu yang tersebar di sejumlah lokasi di Kota Palembang. Namun, sebagian besar di antaranya merupakan perajin Jepara. Selain motif, penurunan juga terjadi pada bahan baku. Dahulu, ukiran khas Palembang hanya dibuat pada kayu tembesu, yaitu jenis kayu berurat lembut namun sangat tahan lama yang banyak tumbuh di hutan-hutan Sumatera. Saat ini, kayu tembesu semakin langka dan mahal harganya. Kayu yang berkualitas tinggi ini pun masih sangat minim dibudidayakan. Untuk mengakali sulitnya kayu, sebagian besar kayu yang digunakan dalam ukiran kini adalah kayu medang atau kayu albasiyah. Tentunya, hasil ukiran tak sehalus dan tak tahan selama kayu tembesu. Namun, sepuhan warna emas tetap dipertahankan. Sebenarnya orang-orang masih menanyakan perabotan dari tembesu murni. Tapi kalau kami pakai tembesu, harga jualnya akan sangat tinggi yang akhirnya akan sulit dijual. Padahal, kami membutuhkan modal cepat berputar, kata Jaja yang mewarisi usaha kerajinan ukir kayu itu dari mertuanya. Untuk mempertahankan kualitas seni ukir Palembang, salah satunya bisa dilakukan dengan akses kayu tembesu dengan harga murah kepada para perajin seni ukir kecil dan menengah. Hal ini dinilai tak menyebabkan kerusakan hutan karena ke butuhan para perajin relatif kecil. Laju kebutuhan perajin lebih rendah dari laju pertumbuhan. Hal ini sebenarnya sangat bisa dilakukan dengan kebijakan pembatasan pembelian kayu. Pembelian kecil seharusnya tetap dilayani dengan harga wajar, kata Tobroni. Tak dipungkiri, alasan ekonomi menjadi alasan utama lunturnya kualitas seni ukir Palembang. Berbagai cara ditempuh perajin untuk menurunkan harga sehingga tetap mudah terjual. Perajin memilih membuat motif yang sederhana dan cepat jadi, mengabaikan berbagai pakem pengukiran, dan menggunakan pengukir yang mudah didapat. Dengan cara ini, peminat ukiran bersepuh emas tetap tinggi. Omzet toko milik Tobroni, misalnya, mencapai Rp 70-80 juta. Peminat pun terus meningkat tiap tahunnya. Omzet ini tentunya akan sulit dicapai dengan seni ukir murni Palembang yang harganya lebih dari dua kali lipat lebih tinggi. Dari sebuah ekspresi seni dan budaya, orientasi kerajinan ukiran kayu Palembang semakin bergeser menjadi alat menggerakkan ekonomi masyarakat. Pengamat seni tradisi Sumatera Selatan yang juga Kepala Museum Sultan Mahmud Badaruddin II RM Ali Hanafiah mengatakan, ukiran kayu Palembang sangat maju dari sisi ekonomi, namun mundur dari sisi budaya. "Selain indah dipandang, seni ukir Palembang yang mempunyai banyak pakem dalam pembuatannya mengandung ajaran dan nilai kearifan lokal, mulai dari kebersamaan hingga pelestarian lingkungan. Selain kualitas jauh menurun. Pakem-pakem seni ukir pun semakin tidak diikuti, jadi kearifan lokal yang seharusnya terkandung dalam ukiran pun semakin kabur," ucap Ali. Seni ukir Palembang dikembangkan dari keraton Kesultanan Palembang Darussalam. Salah satu pangeran keraton tersebut dikenal sebagai maestro seni ukir ini. Seni ukir ini kemudian diturunkan pada keturunan keraton dan berkembang di masyarakat. " Saat ini, saya hanya tahu satu pusat ukir yang masih mempertahankan seni ukir Palembang murni. Dia ini keturunan keraton yang memang ingin memegang pakem ukiran," tuturnya. Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Palembang Baharuddin Ali mengakui, perkembangan seni ukir Palembang belum sepesat songket Palembang yang telah diekspor ke mancanegara. Dari 39 perajin cenderamata khas Palembang yang terdaftar di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Palembang, hanya tiga di antaranya seni ukir Palembang. Menurut Baharuddin, hal ini juga diakibatkan kurangnya promosi. "Memang masih kalah jauh dibanding ukiran Jepara yang sudah diekspor di mana-mana. Di sini juga belum ada investor besar yang tertarik pada seni ukir, tapi kalau di Jepara sudah," tuturnya. Pudarnya seni ukir Palembang dirasakan memilukan. Namun, perubahan sulit dihindari karena dengan cara inilah para perajin ukiran dapat bertahan. Sebagai pelipur lara, sepuhan emas di ukiran tersebut setidaknya tetap mampu menggeliatkan perekonomian banyak orang.

2comments :

  1. Ukiran Palembang memang punya ciri khas tersendiri yang membedakannya dengan ukiran dari daerah lain

    ReplyDelete